Di zaman yang serba canggih ini Informasi seakan sudah
menjadi kebutuhan kita. Sebagian besar penduduk indonesia yang hidup di kota
besar sudah menggunakan media massa karena hampir di setiap rumah dapat kita
temui televisi, radio, surat kabar dan majalah. Media-media tersebut telah
menjadi sumber utama bagi masyarakat untuk mencari hiburan dan informasi.
Informasi berpengaruh penting dalam kehidupan sehari-hari, kita
dapat dengan mudahnya memperoleh informasi menggunakan internet dengan cepat
dan akurat. Bagi para calon jurnalis yang masih baru dan kurangnya pengalaman
akan sangat menbutuhkan informasi sebanyak banyaknya, dengan adanya informasi
dapat menambah wawasan yang tidak bisa didapat
hanya dengan belajar di sekolah dan kuliah.
Seperti kita ketahui di era perkembangan teknologi terutama
dalam jaringan informasi yang semakin canggih seakan memberikan dampak luas
bagi dunia jurnalistik. Pesatnya perkembangan internet beberapa tahun
belakangan ini ternyata membawa dampak tersendiri bagi media konvensional
lainnya, termasuk surat kabar. Karena berita yang didapat dari internet
bersifat langsung dan cepat, membuat khalayak lebih memilih media ini daripada
koran dalam hal mengakses informasi.
Bukankan para penyedia jasa informasi online saat ini sedang
sangat digemari sekarang ini. Namun apakah media massa pada saat ini sudah
independen?
Sejak awal kemunculan media massa online di Indonesia, oleh
Majalah Mingguan Tempo pada 6 Maret 1996 seharusnya dapat mendobrak pers
menjadi lebih bebas dan mudah dijangkau masyarakat. Terutama selapas Era orde
baru pada saat pers menjadi “agent of government” pada saat itu pers harus
menyuarakan suara pemerintah, mendukung kebijakan pemerintah, dan mengutamakan
sumber-sumber berita yang berasal dari pemerintah. Semua keputusan berdasarkan “konsensus”
yang diprakarsai oleh pemerintah. Kalu pers dianggap menyimpang dari konsensus,
subsidi dihentikan, wartawannya dipenjara, atau korannya di tutup (Ishadi, SK,
1999: 229).
Pada saat itu pers benar benar kehilangan mahkota kebebasannya,
berbeda dengan saat ini dimana pers indonesia sudah lebih bebas, akan tetapi
kenyataannya pers masih tetap terikat. Di indonesia hampir semua media terikat
oleh kepentingan pemilik media seperti
politik dan bisnis.
Namun pada dasarnya hampir tidak mungkin media dapat berdiri
jika media itu independen jika saya menjadi pemilik media pun tidak mungkin
sanggup untuk menjalankan media yang benar-benar independen. Sebagai contoh saat
sponsor yang mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan media tersebut terbelit
kasus, apakah kita sebagai media tersebut akan mengumbar- ngumbarkan berita
tersebut?
Menurut saya, jurnalistik, apapun masalahnya, harus tetap
berpegang pada kode etik jurnalistik. Ketika ada sponsor media terbelit kasus,
maka kebijaksanaan para wartawanlah yang menjadi penentu. Semakin jauh publik
dirugikan dengan kasus tersebut, semakin banyak pula pemberitan yang akan
muncul walaupun wartawan media yang disponsori tidak memberitakan.
Pada hakekatnya, jurnalistik memanglah bukan sekedar profesi,
namun sebuah tanggung jawab. Walapun terikat peraturan, nurani seorang wartawan
tetap jadi pegangan utama. Malah konyol jadinya jika seorang wartawan malah
berakhir menjilat penguasa.
Referensi:
Buku: Sisi Gelap Kebebasan
Pers (2014 edisi pertama) Drs. Kasiyanto Kasemin, M.Si.